Selasa, 05 Juli 2011

TERBAKAR: SEBUAH MOMEN DALAM PENCIPTAAN KARYA

TERBAKAR: SEBUAH MOMEN DALAM PENCIPTAAN KARYA


Dalam proses penulisan karya, ada satu momen yang sangat aku harapkan. Aku menyebutnya ‘terbakar’. Ini adalah momen ketika tokoh-tokohku seakan merasuk dan menuntun jemariku menorehkannya. Aku sangat bergairah hingga segala pikiran, emosi dan tingkah laku tokohku mengalir begitu saja.

Itu yang terjadi pada penciptaan novel Pangeran Langit. Maka, simaklah kutipan diskusi  bookaholik di Koran JawaPos 23 Mei 2011 hal. 11. “Novel yang unik. Deskripsi penokohannya detail banget. Jadi, aku ngerti banget karakter tiap tokoh yang digambarkan. Bahasanya catchy dan nggak ngebosenin.” Itu kata Dimas, salah satu peserta diskusi.

Devima, peserta lain, bahkan teringat temannya yang mempunyai masalah serupa dengan tokoh Langit—lajang 30 tahun yang  mengalami dilema dalam pencarian pasangan hidup. Dan dia kagum dengan penokohan langit.

Karakter tokoh lain—Setya—justru lebih menarik perhatian peserta bernama Nindy. Setya adalah sahabat Langit yang selalu ceria itu adalah sosok yang energik dan periang. Namun dia mempunyai masa lalu yang tak kalah suram dari Langit.

Lebih lagi komentar Cana. Dia bilang novel ini spesial karena mengambil fakta mengenai perempuan lajang yang sudah berumur. Sebagai seorang perempuan, dia bisa memahami fakta ini. Dan kurasa dia hendak mengatakan bahwa cerita ini benar-benar ‘female banget’.

Namun, jauh sebelum buku ini terbit, seorang yang kukenal di dunia maya membaca draft novelku dan berkomentar:

"Sebagai laki-laki, Aveus Har berhasil menjabarkan pergolakan batin seorang Langit. Saya memahami perasaan Langit karena sangat mewakili hati para jomblowati macam saya"
Dia adalah Laura Khalida—penulis, mantan redaktur majalah Muslimah. Yang membuatku merasa tersanjung.


Dan kau tahu, aku adalah laki-laki. Langit dan semua cerita yang bergulir bukan duniaku sesungguhnya. Namun bagaimana aku bisa menyuguhkan cerita yang sangat pas dengan pikiran, emosi, perlikaku—psikologi perempuan?

Kurasa, itu karena aku ‘terbakar’. Dan peristiwa terbakar itu masih menjadi misteri bagiku. Aku ingin selalu terbakar ketika menulis—sayangnya tidak bisa kutemukan bagaimana aku bisa terbakar. Aku hanya berusaha mengumpulkan genangan bensin: pikiran, perenungan, literatur, observasi.

Namun, seperti yang kutulis dalam ucapan terima kasih di buku itu: sebuah percikan api justru datang dari interaksi tak sengaja dengan seseorang yang bahkan aku sudah lupa namanya. Sebuah sms yang membuatku dimaki-maki pacar cewek yang kubantu menambalkan ban motornya suatu malam.

Jadi, bagaimana sebenarnya momen ‘terbakar’ tercipta? Entahlah. Barangkali kau tahu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar